Tuesday, December 30, 2014

Salaf Menilai Seseorang Dari Temannya

Kaca 02
Musa bin Uqbah ash-Shuri datang ke Baghdad. Hal ini disampaikan kepada al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Kata beliau, “Perhatikan, kepada siapa dia singgah dan kepada siapa dia berlindung.” (al-Ibanah, 2/479-480 no. 511)
Al-Imam al-Auza’i rahimahullah mengatakan, “Siapa yang menyembunyikan bid’ahnya dari kita, tidak akan tersembunyi dari kita pertemanannya.” (al-Ibanah, 2/476, no. 498)
Yahya bin Sa’id al-Qaththan menceritakan, tatkala Sufyan ats Tsauri rahimahullah mengunjungi Bashrah, beliau memerhatikan keadaan ar-Rabi’ bin Shubaih dan kedudukannya di mata manusia. Beliau pun bertanya, “Apa mazhabnya?”
Mereka menjawab, “Mazhabnya tidak lain adalah as-Sunnah.”
Beliau rahimahullah bertanya lebih lanjut, “Siapa teman dekatnya?”
Mereka menjawab, “Para pengingkar takdir.”
“Jika demikian, dia adalah pengingkar takdir juga,” tukas beliau rahimahullah. (al-Ibanah, 2/453 no. 421)
[Dinukil dari Lammud Durril Mantsur, Jamal bin Furaihan al-Haritsi, hlm. 53-55]
Sumber: Majalah Asy Syariah no. 91/VII/1434 H/2013, rubrik Permata Salaf.

Pelajaran Adab dari Abu Amr

Pemandangan 17
Al-Ashma’i menuturkan bahwa Abu ‘Amr ibnul ‘Ala [1] rahimahullah pernah berkata kepadanya, “Berhati-hatilah engkau jika menghinakan orang yang mulia, atau memuliakan orang yang tercela, atau mempersulit urusan orang yang berakal, atau mencandai orang yang dungu, atau bergaul dengan orang yang jahat. Tidak termasuk adab apabila engkau menjawab orang yang tidak bertanya kepadamu, atau engkau bertanya kepada orang yang tidak mau menjawabmu, atau engkau mengajak bicara orang yang tidak bisa diam untuk mendengarmu.”
(Lammud Durril Mantsur minal Qaulil Ma’tsur, hlm. 82)
Footnote:
[1] Salah seorang imam ahli qiraah yang tujuh, lahir sekitar tahun 70 H, wafat sekitar tahun 150 H. (-red.)
Sumber: Majalah Asy Syariah no. 89/VII/1434 H/2012, rubrik Permata Salaf.

Memiliki Keinginan, Hendaknya Tekun Dalam Mengerjakannya

Pemandangan 06
Muhammad bin Ajlan maula Ibnu Ziyad berkata:
Pada suatu hari Ziyad masuk ke majelisnya (yakni tempat yang biasa ia gunakan untuk duduk disana). Tiba-tiba ia mendapati seekor kucing sedang berada di sudut rumah. Saat aku pergi untuk mengusirnya, beliau berkata, “Biarkan saja, aku akan memperlihatkanmu apa keperluanyang dimiliki kucing itu.”
Beliau lalu mengerjakan shalat zuhur. Kemudian kembali ke majelisnya. Kemudian beliau mengerjakan shalat ashar. Di sepanjang waktu itu beliau terus mengamati kucing. Menjelang waktu terbenamnya matahari, keluarlah seekor tikus, maka kucing itu pun langsung mengejarnya, lalu menerkamnya.
Dan beliau (Ziyad) berkata, “Siapapun yang memiliki keinginan, hendaknya ia tekun dalam mengerjakannya sebagaimana yang dilakukan oleh kucing ini, dengan sebab itu dia akan mencapai keinginannya.”
~ Al Adzkiya’,Abul Faraj Ibnul Jauzi rahimahullah ~

Ilmu Bukan Banyaknya Riwayat & Ucapan

Pemandangan 18
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya, orang-orang terdahulu (para ulama salaf, -red.) diam karena ilmu. Mereka pun menahan diri (dari sesuatu) karena mata hati yang tajam. Sungguh, mereka lebih mampu meneliti (sebuah masalah) kalau mereka mau melakukannya.”
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Sungguh, banyak orang belakangan yang tertipu dengan hal ini. Mereka menyangka bahwa siapa yang banyak bicara, debat, dan perbantahannya dalam masalah agama, berarti dia lebih berilmu. Ini adalah murni kebodohan. Lihatlah para sahabat senior dan ulama mereka, seperti Abu Bakar, Umar, Ali, Mu’adz, Ibnu Mas’ud, dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhum. Betapa sedikit ucapan mereka dibandingkan dengan ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, padahal mereka lebih berilmu. Ucapan generasi setelah tabi’in pun lebih banyak daripada ucapan generasi sahabat, padahal generasi sahabat lebih berilmu. Ucapan generasi setelah tabi’in pun lebih banyak daripada ucapan generasi tabi’in, padahal generasi tabi’in lebih berilmu. Jadi, ilmu bukan karena banyaknya riwayat dan ucapan, melainkan cahaya yang diletakkan di kalbu. Dengan cahaya itu, seorang hamba akan mengenal dan bisa membedakannya dengan kebatilan….”
(Lammud Durril Mantsur minal Qaulil Ma’tsur, hlm. 82-83)
Sumber: Majalah Asy Syariah no. 88/VII/1433 H/2012, rubrik Permata Salaf.